laman

Jumat, 05 Juni 2015

makalah


PERAN PSIKOLOGI DAN PSIKOLOG DALAM PENYELESAIAN
KASUS HUKUM
( Makalah Umum Mata Kuliah Psikologi Hukum Kriminalitas )
Dosen : Kompol. IBG. Adi Putra Yadnya, M.Psi


Oleh :
ASTRI ILIYIN SAHPUTRI
11030012




FAKULTAS PSIKOLOGI
UNIVERSITAS MUHAMMADIYAH LAMPUNG
BANDAR LAMPUNG
2014




KATA PENGANTAR

Puji syukur kehadirat Tuhan Yang Maha Esa yang telah memberikan kita berbagai macam nikmat, sehingga aktifitas hidup yang kita jalani ini akan selalu membawa keberkahan, baik kehidupan di alam dunia ini, lebih-lebih  lagi pada kehidupan akhirat kelak, sehingga semua cita-cita serta harapan yang ingin kita capai menjadi lebih mudah dan penuh manfaat.
Terima kasih sebelum dan sesudahnya kami ucapkan kepada  Dosen serta teman-teman sekalian yang telah membantu, baik bantuan berupa moriil maupun materil, sehingga makalah ini terselesaikan  dalam waktu yang telah ditentukan.
Kami menyadari sekali, didalam penyusunan makalah ini masih jauh dari kesempurnaan serta banyak kekurangan-kekurangnya, baik dari segi tata bahasa maupun dalam hal pengkonsolidasian kepada dosen serta teman-teman sekalian, yang kadangkala hanya  menturuti egoisme pribadi, untuk itu besar harapan kami jika ada kritik dan saran  yang membangun untuk lebih menyempurnakan makalah-makah kami dilain waktu.
Harapan yang paling besar dari penyusunan makalah ini ialah, mudah-mudahan apa yang kami susun ini penuh manfaat, baik untuk pribadi, teman-teman, serta orang lain yang ingin mengambil atau menyempurnakan sebagai tambahan dalam menambah referensi yang telah ada.

Bandar Lampung, 24 Desember 2014
Penulis


DAFTAR ISI

HALAMAN JUDUL................................................................................................... i
KATA PENGANTAR................................................................................................ ii
DAFTAR ISI............................................................................................................. iii
BAB I     PENDAHULUAN.........................................................................................
              A. Latar Belakang Masalah....................................................................... 1
              B. Rumusan Masalah Makalah......................................................... ....... 3
              C. Tujuan Makalah............................................................................. ....... 3
              D. Manfaat Makalah.......................................................................... ....... 3
BAB II    PEMBAHASAN...........................................................................................
              A. Peran Psikologi Dalam Dunia Hukum.................................................. 4
              B. Peran Psikolog Dalam Proses Peyidikan............................................. 5
              C. Peran Psikolog Dalam Proses Pengadilan......................................... 11
              D. Peran Psikolog Dalam Proses Pemenjaraan..................................... 12
BAB III   PENUTUP...................................................................................................
              A. Kesimpulan.................................................................................... .... 14
              B. Saran.................................................................................................. 14
DAFTAR PUSTAKA.............................................................................................. 15





BAB I
PENDAHULUAN

A.   Latar Belakang
Ketika kita mendengar kata “hukum,” apa yang pertama kali terlintas dalam benak kita? Jarang sekali kita langsung membayangkan suatu perangkat yang terdiri dari benda, manusia dan lembaga. Tetapi karena kita terbiasa mengalami hal-hal yang berkaitan dengan hukum, maka kita kadang mengidentifikasikan atau mengartikan hukum sebagai polisi, penjara, pengadilan, atau hal-hal lain semacamnya. Bahkan seringkali perasaan yang timbul diiringi rasa takut dan khawatir yang berlebihan. Itu sebabnya banyak diantara kita yang sama sekali enggan berurusan dengan hal-hal yang menyangkut hukum. Perasaan-perasaan seperti itu sangat wajar, kalau saja kita belum memahami sepenuhnya apa yang dimaksud dengan hukum itu sendiri.
Pada hakekatnya hukum merupakan produk dari perkembangan masyarakat, di mana ketidak – teraturan dan kesewenang – wenangan juga kepentingan-kepentingan dari sekelompok masyarakat tertentu membutuhkan dan menghasilkan proses terciptanya serangkaian ketentuan-ketentuan dan kesepakatan-kesepakatan. Ketentuan – ketentuan yang disepakati itu kemudian dalam perkembangannya dikenal sebagai “hukum.” Sehingga pada sebuah tubuh yang namanya hukum, dia mempunyai dua muka atau sisi: sisi keadilan dan sisi kepentingan.
Permasalahan hukum di Indonesia pun memang tidak sedikit jumlahnya, namun  hukum di Indonesia sering tidak melibatkan seorang ahli psikologi dalam membantu proses hukum. Beberapa orang menyebutkan beberapa kasus kriminal yang perlu peran seorang ahli psikologi, dalam hal ini Psikolog Forensik. Kasus seperti pembunuhan, pemerkosaan, dan menurut saya hampir semua kasus hukum, selama itu melibatkan manusia sebagai tokoh, Psikolog Forensik harus ikut andil dalam proses hukum, mulai dari pra persidangan sampai pasca pemberian hukuman
            peran psikologi klinis ini dalam sistem legal, dan banyak pula yang dapat dilakukan oleh para ahli psikologi klinis. Para ahli psikologi klinis ini dapat memberikan layanan di penjara dan aplikasi psikologi forensik, psikolog klinis dapat melakukan penelitian untuk mengukur dan meningkatkan kesadaran hukum dalam masyarakat, dan masih banyak lagi yang dapat dilakukan oleh para ahli psikologi klinis khususnya psikologi forensik.
Seorang psikolog sangat dibutuhkan di Lapas. Banyak kasus psikologi yang terjadi pada narapidana maupun petugas lapas. Misal pada kasus percobaan bunuh diri narapidana tidak tertangani secara baik karena tidak setiap lapas memiliki psikolog. Pemahaman petugas lapas kurang baik terkait dengan rehabilitasi psikologis sehingga mereka seringkali memberikan hukuman dengan tujuan dapat mengurangi perilaku negatif narapidana (seperti berkelahi, berbohong). Psikolog forensik dibutuhkan dalam rangka melakukan asesmen dan intervensi psikologis pada narapidana.
Guna dapat menjalankan peran sebagai psikolog forensik, seorang psikolog perlu menguasai pengetahuan psikologi dan hukum, serta memiliki ketrampilan sebagai psikolog forensik. Psikologi forensik sebenarnya merupakan perpaduan dari psikologi klinis, psikologi perkembangan, psikologi sosial dan psikologi kognitif. Psikolog forensik memiliki keahlian yang lebih spesifik dibanding psikolog umum. Misalnya di Lapas, dibutuhkan kemampuan terapi (psikologi klinis) yang khusus permasalahan kriminal. Di kepolisian dibutuhkan asesmen yang khusus pada individu pelaku kriminal. Dalam penggalian kesaksian dibutuhkan pemahaman psikologi kognitif. Pada penanganan pelaku/korban/saksi anak-anak dibutuhkan pemahaman psikologi perkembangan. Dalam menjelaskan relasi sosial antara hakim, pengacara, saksi, terdakwa dibutuhkan kemampuan psikologi sosial. Pada saat ini, banyak psikolog yang sudah terlibat sebagai psikolog forensik, namun tidak adanya standar yang jelas membuat psikolog yang terjun di kegiatan forensik menjalankan sesdenganpertimbangannya masing-masing. Hal ini berdampak pada penilaian pelaku hukum dan masyarakat yang menjadi bingung dan tidak memahami kinerja psikolog forensik yang beragam. Untuk itulah dibutuhkan suatu asosiasi yang menjadi perekat bagi psikolog yang berminat pada psikologi forensik. HIMPSI sudah membuat asosiasi itu yaitu APSIFOR (Asosiasi Psikologi Forensik Indonesia)

B.   Rumusan Masalah Makalah
Rumusan masalah dari makalah ini yaitu “ bagaimana peran psikologi dan psikolog dalam penyelesaian kasus hukumn ?”

C.   Tujuan  Makalah
1.    Mengetahui Peranan Psikologi Dalam Hukum
2.    Menjelaskan Peran Psikolog Dalam Proses Penyidikan
3.    Menjelaskan Peran Psikolog Dalam Proses Di Pengadilan
4.    Menjelaskan Peran Psikolog Dalam Proses Pemenjaraan

D.   Manfaat Makalah
Manfaat  diperoleh dari studi makalah ini, agar mendapatkan masukan yang positif dan dapat menambah wawasan mengenai psikologi dalam hukum sehingga mampu berfikir lebih kompleks terhadap dampak yang ditimbulkan, dan memiliki pikiran terbuka sehingga mampu berfikir lebih maju kedepan, memberi informasi kepada masyarakat tentang peran psikologi dalam hukum agar masyarakat tau bagaimana peran penting seorang psikolog dalam dunia hukum.

BAB II
PEMBAHASAN

A.   Peran Psikologi Dalam Hukum
Secara umum peran psikologi dibagi dua area, yaitu kelimuwan dan aplikatif Pada tataran keilmuwan, piskologi berperan dalam proses pengembangan hukum berdasarkan riset - riset psikolog. Sementara pada tataran aplikatif, psikologi berperan dalam intervensi psikologis yang dapat membantu proses hokum Friedman (dalam Lumbuun, 2008) mengatakan bahwa terdapat tiga aspek dalam sistem hukum. Pertama, struktur, yang berkaitan lembaga yang membuat dan menegakan hukum, termasuk DPR, kepolisian, kejaksaan, hakim dan para advokat. Kedua, subtansi, yang menyangkut dari materi hukum baik yang tertulis atauyang tidak tertulis dan ketiga budaya hukum, yaitu sikap orang terhadap hukum dan sistem hukum yang meliputi kepercayaan, nilai, pikiran dan harapan
Menurut Costanzo (2006) peran psikologi dalam hukum sangat luas dan beragam. Psikologi memberikan dua peran. Pertama, psikologi sebagi penasehat, dimana para psikolog sering kali digunakan sebagai penasehat hakim ataupun pebgacara dalam persidangan. Kedua, para psikolog sebagai evaluator, sebagai seorang ilmuan psikolog dituntut mampu melakukan evaluasi terhadap suatu program tepatnya program-program intervensi psikologis dalam rangka mengurangi perilaku kriminal ataupun penyimpangan misalnya program untuk mencegah dan mengurangi penggunaan NAPZA pada remaja.
Diindonesia sendiri peran psikolog dalam hukum sudah mulai terlihat semenjak hadirnya Asosiasi Himpunan Psikologi Forensik pada tahun 2007. Peran psikologi forensik dibutuhkan untuk membantu mengungkapakan kasus-kasus kriminal yang menimpa masyarakat. Psikolog forensik dapat membantu aparat penegak hukum memberi gambaran utuh kepribadian sipelaku dan korban. Peran lain dari psikolog forensik meliputi tahap penyelidikan, persidangan, dan penjatuhan sangsi hukuman.Selama ini ilmuan psikologi banyak digunakan sebagai saksi ahli dan untuk pemeriksaan kondisi kejiwaan tersangka ataupun terdakwa, peran psikolog forensik belum secara aktif dan sistematis. Andrianus Meliala (2008) menyatakan psikologi forensik merupaka istilah yang memayungi luasnya cakupan psikologi itu sendiri sebagai segala bentuk penerapan psikologi dalam dalam sistem hukum dalam rangka membantu aparat hukum bisa mencapai kebenaran hukum.
           Pada intinya Hukum dan Psikologi memiliki obyek kajian yang sama yaitu perilaku manusia. Namun ada beberapa hal yang sanagt prinsip yang membuat psikologi dan hukum tidak bisa selaras dalam penetapannya dilapangan. Misalnya tujuan, metode, dan gaya penyelidikan yang dugunakan masing-masing.Psikologi forensik sendiri adalah suatu cabang psikologi yang dikembangkan untuk membantu kelancaran peradilan guna memperoleh dan mendayagunakan informasi-informasi psikologis yang diperlukan seperti untuk untuk memhami masalah kejhatan, membantu proses penyelidikan dan pengadilan (motif pelanggaran hukum, tanggung jawab pelaku, perilaku selama penyelidikan, dan proses peradilan)

B.   Peran Psikolog Dalam Proses Penyidikan
Seorang psikolog dalam sebuah penyidikan hukum  ada beberapa tahapan yaitu:
1. Pemeriksaan Psikologi (Kompetensi Psikologi)
Pemeriksaan psikologi ini merupakan sebuah proses psikodiagnostika yang diberikan kepada seseorang yang menjadi saksi, tersangka, ataupun korban (bila memungkinkan) dalam tindak pidana tertentu. Pemeriksaan ini bertujuan untuk memperoleh informasi psikologis  (potensi, kepribadian, profile psikologi, dls) tentang seseorang berkaitan dengan peristiwa pidana tertentu untuk diinformasikan kepada penyidik untuk mengambil langkah-langkah tertentu guna mendukung proses penyidikan.
Tanpa mengecilkan pemeriksaan terhadap subyek yang lain pemeriksaan ini biasanya lebih diarahkan kepada tersangka untuk mengetahui dinamika psikologi seseorang (motif, kebohongan, indikasi psikopathologis, dls) dan saran terhadap penyidik supaya dapat mengambil langkah-langkah tertentu yang menuntut kesegeraan.
Teknik hipnosis digunakan ketika informasi tentang suatu kejadian tidak ada kemajuan yang berarti atau pada Saksi/korban yang emosional (malu, marah) dan menghilangkan memorinya. Dengan teknik hipnosis, ia merasa bebas dan dapat memunculkan ingatannya kembali.
Observasi, dengan keterbatasan waktu dan keterbatasan kemampuan yang dimiliki oleh tersangka/saksi/korban (usia, pendidikan, mekanisme pertahanan diri yang kuat) maka seorang psikolog polisi harus memiliki kemampuan pengamatan yang jeli terhadap reaksi atau gejala yang nampak serta berbagai kondisi lain diluar itu (kondisi psiko-social maupun ekonomi, dls) yang berpengaruh baik langsung maupun tidak langsung dan diseskripsikan dengan baik.
Wawancara kognitif merupakan teknik yang diciptakan oleh Ron Fisher dan Edward Geiselman tahun 1992. Tujuannya adalah untuk meningkatkan proses retrieval yang akan meningkatkan kuantitas dan kualitas informasi dengan cara membuat saksi/korban merasa relaks, dan kooperatif. Geiselman menemukan bahwa teknik wawancara kognitif menghasilkan 25-35 % lebih banyak dan akurat dibanding teknik wawancara standar kepolisian. Psikolog forensik dapat melakukan pelatihan teknik investigasi saksi pada polisi. Contoh kasus: Ryan,  Babe,  Antasari Azhar, Sumanto


2.    Profiling Psikologi
Profiling psikologi merupakan serangkaian kegiatan profesi psikolog untuk mengidentifikasi ciri-ciri yang bersifat khusus tentang seseorang  atau lebih yang diduga menjadi pelaku tindak kejahatan berdasarkan fakta-fakta di lapangan (TP TKP= Tindakan Pertama di Tempat Kejadian Perkara). Artinya profesi psikologi harus mampu menyelenggarakan psikodiagnostik terhadap seseorang tanpa harus bertemu dengan seseorang namun hanya berdasarkan pada jejak-jejak yang ditinggalkan (perilaku adalah ekspresi jiwa seseorang, dan TKP merupakan hasil perilaku seseorang).
Dalam Profiling ini psikolog tidak harus menunjuk pada nama/identitas seseorang secara langsung namun lebih bersifat membantu penyidik  (memperkecil dan mempermudah) dalam memperkirakan siapa yang menjadi pelaku dengan cirri-ciri yang termuat dalam profiling. Lebih mempertajam daripada sekedar memperkirakan modus operandi.
penyusunan profil kriminal dalam Ilmu Psikologi, adalah usaha penyimpulan ciri-ciri deskriptif dari pelaku kejahatan yang belum/tidak teridentifikasi dengan menggunakan prinsip-prinsip ilmu psikologi dan perilaku manusia. Usaha ilmiah psikologi membuat penyusunan profil psikologis seorang pelaku kejahatan menjadi suatu proses sistematis, berdasarkan bukti empiris dan melakukan evaluasi obyektif. Hal ini dilakukan untuk membantu penegak hukum untuk secara akurat memprediksi perilaku kriminal, mengidentifikasi dan mendukung proses penangkapan, serta memfasilitasi cara berinteraksi dengan tersangka kelak. Holmes dan Holmes (2008) menguraikan tiga tujuan utama dari profil kriminal: 1) menyediakan penegak hukum data hasil pemeriksaan sosial dan psikologis pelaku; 2) menyediakan penegak hukum evaluasi psikologis pelaku kejahatan; dan 3) memberikan saran dan strategi untuk proses wawancara dengan pelaku.
Penyusunan profil karakteristik pelaku kriminal sering juga dikenal sebagai profil kepribadian kriminal atau analisis investigasi kriminal. Dalam profil kriminal akan digambarkan mengenai pembawaan personal, kecenderungan, kebiasaan, serta karakteristik geografis-demografis pelaku kejahatan (misalkan: usia, jenis kelamin, status sosio-ekonomi, pendidikan, asal tempat tinggal). Penyusunan profil kriminal akan berkaitan dengan analisa bukti fisik yang ditemukan di tempat kejadian kejahatan, proses penggalian pemahaman mengenai korban (victimology), mencari modus operandi (apakah peristiwa kejahatan terencana atau tidak terencana), serta proses pencarian jejak pelaku kejahatan yang sengaja ditinggalkan (signature).
Satu hal yang penting dilakukan dalam penyusunan profil kriminal adalah menganalisa korban untuk mengetahui karakteristik pelaku kejahatan. Dari kondisi korban dan tempat perkara, seorang profiler dapat menyusun hipotesa mengenai relasi antara pelaku dan korban, contohnya: dari luka di tubuh korban profiler dapat mengembangkan asumsi apa motif dan relasi pelaku dengan korban. Dalam terminologi Psikodinamika, kondisi korban adalah proyeksi hubungan antara pelaku dan korban.
Proses penyusunan profil kriminal dapat dilihat sebagai proses terbalik dari proses diagnosa klinis. Dimana dalam proses penyusunan profil kriminal banyak menggunakan insight mengenai kepribadian pelaku kejahatan, lalu baru diikuti dengan ahli psikologi akan menghadirkan bukti-bukti perilaku untuk menggambarkan individu yang belum diketahui. Sedangkan dalam proses penyusunan diagnosa klinis, ahli psikologi hanya dapat membuat asumsi dan uraian mengenai perilaku seseorang setelah mengumpulkan bukti empiris perilaku individu yang didapat dari pengukuran psikologis.
Lebih lanjut, secara umum dalam profil kriminal mencoba menguraikan tentang penyebab munculnya perilaku kejahatan oleh pelaku (ide atau fantasi apa yang menyebabkan ia melakukan kejahatan tertentu). Profil kriminal juga akan menjelaskan metode dan cara melakukan kejahatan (bagaimana cara memilih korban, bagaimana cara ia melakukan kejahatan, serta apakah pelaku berusaha menghilangkan jejak atau alat bukti kejahatannya). Terakhir, profil kriminal juga akan mencoba menjelaskan perilaku pelaku kejahatan setelah peristiwa kejahatan (apakah ia akan mengulangi kembali perilaku kejahatannya atau akankah ia merespon media massa atau penegak hukum). Contoh : Korban mutilasi, korban pembunuhan, kasus bom, dls.

3.    Autopsi Psikologi
Menegakkan psikodiagnostik dengan membuat gambaran tentang kepribadian seseorang (yang sudah mati) berdasarkan allo-anamnese dan berbagai keterangan lainnya dari lingkungan untuk membuat profile perilaku tertentu (masih diperdalam psipol) dan didatakan untuk kepentingan lainnya.Contoh : Membuat profile tentang pelaku bunuh diri, Membuat profile tentang orang yang cenderung menjadi korban (victimologi).
Pemeriksaan jenazah (post-mortem) dikenal sebagai otopsi. Jika otopsi koroner medis berfokus pada pemeriksaan fisik jenazah, maka otopsi psikologis pada dasarnya adalah pemeriksaan keadaan mental jenazah. Otopsi psikologis, akan mengulas apa yang dialami seseorang sehingga mengalami kematian atau terlibat dalam suatu peristiwa kejahatan. Alasan kuat dilakukannya otopsi psikologis adalah untuk membantu dalam menentukan sifat kematian, apakah kematian disebabkan faktor alamiah, bunuh diri, kecelakaan atau pembunuhan. Otopsi psikologis dapat membantu mengatasi ambiguitas ini dan menentukan penyebab kematian dari penelusuran kehidupan dan kondisi psikologis almarhum sebelum kematiannya.
Dalam konteks penyelidikan forensik, otopsi psikologi akan melakukan pengumpulan data psikologis almarhum. Sumber yang paling umum adalah data wawancara yang diperoleh dari keluarga dan teman-teman almarhum, mengumpulan sejarah medis dan catatan medis, dan sejumlah data-data penting dari kehidupan almarhum. Beberapa informasi yang dikumpulkan biasanya meliputi: informasi biografis (umur, status perkawinan, pekerjaan); informasi pribadi (hubungan, gaya hidup, penggunaan alkohol/narkoba, sumber stres); serta informasi sekunder (riwayat keluarga, catatan polisi, buku harian).
Sekali lagi proses otopsi psikologis akan menggunakan proses ilmiah dan sistematis. Hasil pengumpulan data akan dianalisis, untuk mendapatkan pemahaman logis dari hubungan antara berbagai peristiwa yang dialami almarhum sebelum kematian, faktor-faktor personal, serta faktor-faktor eksternal. Contohnya: untuk mengetahui apakah seseorang sungguh mengalami kematian disebabkan bunuh diri, maka ahli otopsi psikologis akan mengumpulkan data diari pribadi, pesan terakhir (biasanya orang yang akan bunuh diri akan memberikan pesan terakhir bagi keluarga yang ditinggalkan), stressor dan periode depresi, atau usaha minta pertolongan; kealpaan komponen-komponen tersebut membuat indikasi bunuh diri menjadi kabur.

  1. Analisa Psikologi
Kegiatan yang berupa tulisan yang berisi analisa psikologi tentang trend kejahatan atau kriminalitas tertentu dan kemudian membuat saran-saran dan prediksi tertentu (kasuistik, actual, dan berjangka waktu). psikolog polisi sebagai kekuatan pendukung dalam proses penyidikan maka pada seorang psikolog dituntut untuk dapat membuat laporan psikologi secara lugas dan komunikatif serta mengkaitkan dengan peristiwa criminal yang disangkakan (bukan laporan psikologis mandiri). Situasi menuntut adanya cara tindak professional dan berpijak pada sebuah keyakinan yang mendalam pada seorang psikolog polisi. Contoh: Kejahatan bulan ramadhan, tren bunuh diri pada anak-anak, penyalahgunaan senjata api, KDRT, dls.
C.   Peran Psikolog Dalam Proses Pengadilan
psikologi memberikan penjelasan mengenai kondisi psikologis pelaku kejahatan sehingga hakim memberikan hukuman (pengadilan) sesuai dengan alat bukti dan mempertimbangkan motif /kondisi psikologis pelaku kejahatan. Menurut Muladi dalam (Rizanizarli, 2004) tujuan pengadilan adalah memperbaiki kerusakan individual dan sosial yang diakibatkan tindak pidana.Ada beberapa teori yang terkait dengan tujuan pengadilan. Pertama, teori retributive (balas dendam), teori ini mengatakan bahwa setiap orang harus bertanggung jawab atas perilakunya, akibatnya di harus menerima hukuman yang setimpal. kedua teori relatif (tujuan), teori ini bertujuan untuk mencegah orang melakukan perbuatan jahat. Teori ini sering disebut dengan teori deterrence(pencegahan).
dua jenis teori relatif, yaitu teori pencegahan dan teori penghambat. Teori pencegahan dibagi dua, yaitu pencegahan umum, efek pencegahan sebelum tindak pidana dilakukan,misalnya melalui ancaman dan keteladanan, dan pencegahan spesial, efek pencegahan setelah tindak pidana dilakukan. Sementara teori penghambatan, yaitu bahwa pemindanaan bertujuan untuk mengintimidasi mental pelaku agar pada masa datang tidak melakukannya lagi. Ketiga, behavioristik, teori ini berfokus pda perilaku. Teori ini dibagi dua, yaitu incapacitation theory, pemindanaan harus dilakukanagar pelaku tidak dapat berbuat pidana lagi dan Rehabilitation theory, yaitu pemindanaan dilakukan untuk memudahkan melakukan rehabilitasi (Rizanizarli, 2004).

D.   Peran Psikolog Dalam Proses Pemenjaraan
pelaku ditempatkan dalam lembaga permasyarakatan (LP). Tujuannya adalah agar pelaku kejahatan mengalami perubahan perilaku menjadi orang baik. Namun kenyataannya berbeda, banyak pelaku kriminal setelah keluar dari LP bukannya menjadi lebih baik tapi tetap melakukan tindakan kejahatan kembali bahkan secara kuantitas dan kualitas tindakan kejahatannya lebih berat daripada sebelumnya. Hal ini terjadi karena terjadi proses pembelajaran sosial ketika di LP. Disini peran psikolog sangat penting untuk memberikan binbingan pada narapidana agar sadar dan merubah perilaku menjadi yang lebih baik dan tidak melakukan hal kejahatan lagi.
Dalam konsep psikologi, LP haruslah menjadi tempat rehabilitasi para pelaku kejahatan. Idealnya terjadi perubahan perilaku dan psikologis narapidana sehingga setelah keluar dapat menjadi orang yang berperilaku baik dan berguna bagi masyarakat. Ada beberapa konsep psikologi yang dapat ditawarkan dalam perubahan perilaku narapidana di LP Pertama, berorentasi personal, yaitu dengan cara terapi individua /kelompok, misalkan terapi kogniif.Kedua, berorentasi lingkungan, dengan menciptakan lingkungan fisik LP yang mendukung perubahan perilaku narapidana, misalkan jumlah narapidana sesuai dengan besarnya ruangan sel sehingga tidak terjadi kepadatan dan kesesakan yang berpotensi menimbulkan perilaku agresif narapidana.
Seorang Psikolog memberikan bimbingan dan pembinaan pada narapidana Di dalam penjara agar merubah suatu perilaku agar menjadi lebih baik dengan tahapan orientasi, pembinaan dan assimilasi. Tahap orientasi dimaksudkan agar narapidana mengenal cara hidup, peraturan dan tujuan dari pembinaan atas dirinya. Tahap pembinaan narapidana, dibina, dan dibimbing agar supaya tidak melakukan lagi tindak pidana dikemudian hari, apabila keluar dari Lembaga Pemasyarakatan. Narapidana diberikan pendidikan agama, keterampilan dan berbagai kegiatan pembinaan lainnya. Tahap assimilasi, dimaksudkan sebagai upaya penyesuaian diri agar narapidana tidak menjadi canggung bila keluar dari Lembaga Pemasyarakatan apabila telah habis masa pidananya atau bila mendapat pelepasan bersyarat, cuti  menjelang lepas atau pembinaan karena mendapat remisi.
Dengan diberikan suatu bimbingan di dalam penjara dapat meningkatkan kesadaran (counsciousness) narapidana akan eksistensinya sebagai manusia. Pencapaian kesadaran dilakukan melalui tahap introspeksi, motivasi dan self development. Tahap introspeksi dimaksudkan agar narapidana mengenal diri sendiri. Sedangkan tahap motivasi diberikan teknik memotivasi diri sendiri bahkan sesame teman lainnya. Hal ini dapat membentuk Warga Binaan Pemasyarakatan agar menjadi manusia seutuhnya, menyadari kesalahan, memperbaiki diri dan tidak mengulangi tindak pidana sehingga dapat  diterima kembali oleh lingkungan masyarakat, dapat aktif  berperan dalam pembangunan dan dapat hidup secara wajar  sebagai warga yang baik dan bertanggung jawab















BAB III
PENUTUP
A.   Kesimpulan
Peran psikolog dalam dunia hukum sangatlah penting psikologi forensik merupakan istilah yang memayungi luasnya cakupan psikologi itu sendiri sebagai segala bentuk penerapan psikologi dalam dalam sistem hukum dalam rangka membantu aparat hukum bisa mencapai kebenaran hukum.
Dalam proses penyidikan seorang psikolog harus melalui beberapa tahapan untuk mencari fakta dan informasi tentang suatu kasus yang ada, tahapan di antaranya yaitu : pemeriksaan psikologi, profiling psikologi, otopsi psikologi, analisa psikologi.
Seorang psikolog peran dalam proses peradilan yaitu psikologi memberikan penjelasan mengenai kondisi psikologis pelaku kejahatan sehingga hakim memberikan hukuman (pengadilan) sesuai dengan alat bukti dan mempertimbangkan motif /kondisi psikologis pelaku kejahatan
Seorang psikolog dalam pemenjaraan di beri bimbingan dan pembinaan kepada narapidana agar  perilaku dapat berubah menjadi yang lebih baik dengan beberapa tahap yaitu tahap orientasi, tahap pembinaan, dan tahap asimilasi. Dengan diberikan bimbingan narapidana akan sadar atas perbuatanya dengan kesadaran dilakukan melalui tahap introspeksi, motivasi dan self development.

B.   Saran
1.    Dengan adanya psikolog lebih dapat menegakkan keadilan di dunia hukum
2.    Dengan peran Psikolog di dunia hukum agar memberi bimbingan lebih banyak kepada narapidana agar tidak terjadi perilaku agresif di rumah tahanan
3.    Lebih memahami kepribadian narapidana agar dapat merubah perilakunya.
DAFTAR PUSTAKA



Tidak ada komentar:

Posting Komentar