PSIKOLOGI
|
Ida Bagus Gede Adi Putra.Y, M.Psi., Psikolog
Katakan “tidak”
pada kekerasan dalam rumah tangga! Kalimat ini seharusnya tidak hanya menjadi
sekedar slogan dalam program-program
sosialisasi tapi harus diinternalisasi dalam diri masing-masing. Tingkah laku
masyarakat adalah akumulasi dari tingkah laku individu. Jika setiap individu
sudah berkomitmen untuk tidak melakukan kekerasan rumah tangga maka hal ini
akan menjadi perilaku kolektif.
Fenomena kekerasan dalam rumah tangga sebenarnya
bukan sesuatu yang baru, bahkan sudah ada sejak jaman “bahela” hanya saja saat
ini perkembangan kasus-kasusnya semakin bervariasi. Hal ini juga diikuti oleh
kesadaran dari korban untuk melaporkan kepada aparat hukum atau lembaga yang
memiliki kepedulian tinggi terhadap kasus kekerasan rumah tangga (anak dan
perempuan). Berdasarkan beberapa laporan dari berbagai daerah di
tanah air, kasus KDRT menunjukkan peningkatan yang signifikan. Biasanya kasus
semacam ini fenomenanya seperti gunung es, yang muncul di permukaan hanya
sebagian kecilnya, yang tersimpan di bawah permukaan biasanya lebih besar, dan
jika digali lebih jauh ke dasarnya, akan ditemui kasus yang lebih banyak lagi. Hal
ini terjadi karena berbagai faktor, diantaranya:
- Masih
redahnya kesadaran untuk berani melapor terutama dari pihak korban.
Bentuk-bentuk kecemasan lain telah menghantui korban saat akan melaporkan
kasus yang menimpanya. Misalnya takut berurusan dengan polisi, atau aparat
hukum lain, takut upermasalahannya menjadi panjang dan kemudian melibatkan
banyak orang.
- Masalah budaya, di Indonesia hampir sebagian besar
masyarakatnya menganut sistem patrilineal, yang mengutamakan peran
laki-laki dalam rumah tangga. Hal
ini dapat menjadi kendala yang sangat besar bagi penanganan kasus KDRT.
Apalagi korban (biasanya istri), yang tidak bekerja dan sumber
penghidupannya dari suami posisinya sangat lemah. Maka saat terjadi kasus
kekerasan yang melibatkan suaminya, korban akan berpikir untuk melaporkan
suaminya.
- Adanya anggapan bahwa aib keluarga jangan sampai diketahui oleh orang lain. Hal ini menyebabkan munculnya perasaan malu karena akan dianggap oleh lingkungan tidak mampu mengurus rumah tangga. Jadi rasa malu mengalahkan rasa sakit hati.
- Kurang tanggapnya lingkungan atau keluarga terdekat untuk merespon apa yang terjadi, hal ini dapat menjadi tekanan tersendiri bagi korban. Karena bisa saja korban beranggapan bahwa apa yang dialaminya bukanlah hal yang penting karena tidak direspon lingkungan, hal ini akan melemahkan keyakinan dan keberanian korban untuk keluar dari masalahnya.
- Kurangnya pengetahuan korban mengenai lembaga yang dapat memberikan bantuan terhadap permasalahan yang dialaminya, dan masih banyak lagi faktor-faktor lainnya.
Faktor-faktor tersebut bisa menjadi alasan penguat mengapa kita perlu
menginternalisasi dan meningkatkan komitmen pribadi untuk mengatakan “tidak”
pada KDRT.
Bentuk KDRT
§
Kekerasan
Fisik
Bentuk
kekerasan fisik adalah salah satu yang paling banyak terjadi dan paling mudah
dilihat akibatnya. Hal ini terjadi
karena salah satu pasangan kurang mampu mengendalikan emosi, untuk menyalurkan
perasaan agresinya maka terjadilah bentuk kekerasan fisik. Bentuknya dapat
bermacam-macam, mulai dari penganiayaan ringan hingga berat. Pasangan yang
kurang matang secara emosional, kurang mampu mengkomunikasikan kebutuhan dan
saling memahami sering menjadi pemicu munculnya kekerasan fisik.
§
Kekerasan
Psikis
Bentuk kekerasan lain yang tidak kalah pentingnya
adalah kekerasan psikis atau mental. Bisanya muncul dalam bentuk kata-kata
penghinaan, pelecehan, bentakan dan ancaman dan lain-lain. Hal yang kerap kali
terjadi adalah salah satu pasangan memutuskan komunikasi. Karena merasa jengkel
dan tidak mampu mengekspresikan perasaannya, biasanya salah satu pasangan akan
memilih untuk tidak berbicara dengan pasangannya. Sebagian pasangan akan merasa
tidak nyaman dengan kondisi ini, sebab merasa tidak tahu harus berbuat apa
karena pasangannya tutup mulut. Sering kali salah satu pihak (suami/istri)
mengharapkan dimengerti oleh pasangannya dengan tindakan tutup mulut. Jika hal
ini terjadi pemecahan masalah akan menjadi semakin lama.
§
Kekerasan
Ekonomi
Pihak yang sering menjadi korban pada bentuk
kekerasan ekonomi adalah istri. Bagi istri yang memiliki pekerjaan mungkin
tidak terlalu besar dampaknya, akan lain ceritanya jika istri hanya sebagai ibu
rumah tangga. Biasanya berbentuk pembiaran, tidak diberikan nafkah atau biaya
hidup oleh suami. Masalah ekonomi sering menjadi penghambat dalam kasus
penyelesaian KDRT. Ada keengganan dari salah satu pasangan untuk melaporkan
pasangannya kepada pihak berwenang, situasi ini mengakibatkan korban berada
dalam posisi yang sangat lemah. Karena jika ia melaporkan pasangannya maka akan
muncul masalah baru yakni masalah ekonomi. Sehingga tidak jarang ditemui korban
yang sebelumnya melaporkan pasangannya pada akhirnya menarik kembali
laporannya.
§
Kekerasan
Seksual
Bentuk kekerasan lain adalah kekerasan seksual.
Salah satu bentuknya adalah pemaksaan keinginan untuk melakukan hubungan
seksual kepada pasangan. Salah satu pasangan mungkin saja tidak sedang dalam
suasana hati yang nyaman untuk berhubungan, namun tetap diminta untuk melayani
keinginan pasangannya. Bentuk yang lebih ekstrim lagi adalah adanya eksploitasi
secara seksual terhadap pasangan (biasanya istri) dengan motif tertentu.
Pengaruhnya terhadap kepribadian anak
Selain
masalah yang telah diuraikan di atas ada berbagai hal yang dapat menjadi faktor
pendukung terjadinya kekerasan dalam rumah tangga. Secara
teoritis, kekerasan yang dilakukan dalam rumah tangga juga diakibatkan oleh
adanya faktor pembelajaran. Belajar di sini memiliki arti yang luas, baik sifatnya langsung atau tidak langsung,
disadari atau tidak disadari. Modeling merupakan cara yang paling mudah
dilakukan oleh individu untuk belajar susuatu. Belajar melalui modeling tidak
mengharuskan seseorang mengalami sendiri atau melakukan sendiri sutu tindakan,
tapi cukup hanya dengan melihat dan meniru tindakan orang lain. Dalam
lingkungan keluarga anak akan meniru tingkah laku orang tuanya, karena orang
tua adalah orang terdekat bagi anak dan sekaligus model yang bersifat langsung.
Anak yang menjadi korban kekerasan dalam rumah tangga, memiliki kecenderungan
untuk lebih mudah melakukan tindakan yang sama. Hal ini terjadi karena anak
memperoleh model dalam cara menyelesaikan masalah. Misalnya ia melihat orang tuanya
bertengkar dan kemudian melihat salah satu orang tuanya menggunakan
kekerasan, pengalaman tersebut akan
selalu membekas dalam dirinya, dan menjadi salah satu referensinya saat
menyelesaikan masalah. Berdasarkan situasi tersebut fenomena KDRT dapat “menular”
kepada orang lain. Oleh karena itu penting kiranya disadari dan dipahami oleh
para orang dewasa untuk dapat mengendalikan dorongan-dorangan. Misalnya dalam
situasi marah atau jengkel hendaknya tidak menampilkannya di depan anak-anak.
Kekerasan dalam rumah tangga dapat memberi dampak negatif bagi perkembangan
kepribadian anak. Anak akan merasa tidak nyaman dan merasa tertekan dengan
keadaan orang tuanya. Saat orang tua berselisih atau bertengkar anak akan
mengalami kebingungan terutama dalam menempatkan posisi dirinya. Kebingungan
harus memihak siapa dan bertindak apa. Jika anak memihak salah satu orang tua
mereka maka akan mucul dampak yang lebih buruk lagi, yakni dalam diri anak
mulai tumbuh benih kebencian terhadap salah satu orang tuanya. Karena ia sudah
memiliki kesimpulan terhadap apa yang terjadi pada orang tuanya sehingga ia
memutuskan untuk memihak salah satu dari orang tuanya. Jika hal ini terus
menerus terjadi dapat dibayangkan bagaimana suasana kehidupan keluarga.
Pengaruhnya terhadap hubungan sosial anak
dengan lingkungannya juga menjadi terganggu. Ia akan mengalami kesulitan dalam
menyesuaikan diri dengan lingkungannya, anak dapat tumbuh menjadi orang yang
kurang mampu dalam mengendalikan perasaannya, tumbuh menjadi orang yang
tertutup, kurang komunikatif, dan kurang percaya diri. Di lingkungan luar rumah
anak akan memperoleh berbagai macam model perilaku, ketika banyak hal berbeda
dengan apa yang ia temui sehari-hari di rumah, dapat menyebabkan anak merasa
asing dengan lingkungannya. Ia akan bertingkah laku berdasarkan referensi yang
telah dimilikinya. Anak akan membutuhkan waktu yang lebih lama dalam proses
adaptasi dengan lingkungannya.
Anak
yang tumbuh dalam rumah tangga kurang harmonis akibat adanya tindak kekerasan
akan memiliki tingkat kecemasan yang tinggi dalam dirinya. Tingkat kecemasan
ini akan berpengaruh terhadap setiap aktivitas yang dilakukannya. Anak dapat
merasa tidak tenang dalam beraktivitas karena ia selalu mengingat dan mengkhawatirkan
kondisi orang tuanya. Pengalaman yang telah tertanam dalam dirinya tidak akan
bisa hilang sampai kapanpun, walaupun berusaha dilupakan, namun pengalaman
tersebut akan tetap mengendap atau tersimpan dalam ketidak-sadaran dan suatu
saat dapat muncul kembali ke kesadaran. Pencetusnya dapat bermacam-macam. Mulai
dari hal yang paling sepele hingga hal yang cukup berat. Sehingga dampak yang
ditimbulkan oleh adanya KDRT lebih
banyak negatifnya. Oleh karena itu sangat penting kiranya kita semua secara
bersama-sama meningkatkan kesadaran dan memperkuat komitmen untuk sedikit demi
sedikit menghapuskan KDRT dari lingkungan yang paling dekat dengan kita.
Tidak ada komentar:
Posting Komentar